"Lakukanlah apa yang bermanfa'at untuk dirimu dan berpegang teguhlah dengannya"

Sabtu, 16 September 2017

Sedihnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Siapa yang tidak mengenal beliau, dialah sosok soko guru di belantara dunia Sufi, kelembutan tutur katanya, kedalaman berbagai disiplin ilmu pengetahuan, ketajaman mata batinnya, ketinggian ma'rifat dan hakikatnya, kejujuran yang membawanya ketingkat derajat yang agung dan sebagainya. walau di era sekarang ini masih ada saja orang yang tidak suka karena di anggap penghambat kebebasan, memproyeksi kejumudan, pelampiasan kesumpekan pikiran dan segudang tuduhan konyol lainnya. dan biarkanlah mereka bebas mengomentari dengan takaran kebodohan masing-masing, toh soko guru sufi ini tetap asyik dengan wejangan sufitisnya di jadikan menu utama bagi murid-murid yang sedang suluk membersihkan lumpur-lumpur yang telah menghijab dirinya dengan Sang Khaliq.

Ketawaduan, mungkin ini salah satu suluknya hingga beliau tidak pernah mengklaim manusia paling ini paling itu. dan bukankah kita sering tersandung penyakit batin ini...? melihat orang lain seakan sebongkah tahi kerbau demi melihat dirinya yang sudah serba bisa : bisa berceramah, bisa mengajar, bisa beribadah, bisa bersedekah, bisa menasihati, bisa mengarang, bisa ngomelin, bisa mengatur, bisa berdziqir, bisa, bisa dan bisa.

Tahukah anda bahwa beliau (Syeikh  Abdul Qadir Al-Jailani) kerap bersedih ketika :
  • Melihat anak kecil
  • Melihat orang tua
  • Melihat orang bodoh
  • Melihat orang alim
Lirih batin dan bibirnya mengatakan :
  • "Aku iri melihat anak kecil yang belum tersentuh dosa, sementara aku yang telah dewasa telah belepotan dosa"
  • "Aku iri melihat orang tua yang telah banyak berinvestasi akhirat, sementara diriku belum berbekal apa-apa untuk akhiratku".
  • "Duch...,wajar saja si bodoh itu berbuat alfa dan khilaf karena kebodohannya, sementara aku kerap berbuat dosa karena kepintaranku".
  • "Ohhh...ternyata si Alim itu beribadah karena ke'alimannya, sementara aku beribadah dengan segala kebodohanku".
Kejujuran pula yang membawa beliau ke tingkat spiritual derajat yang agung, al-kisah di ceritakan bahwa ketika syekh Abdul Qadir Al-Jailani di tanya oleh seseorang, "Apa kuncinya yang membawa anda pada tingkatan spiritual yang tinggi..? Beliau berkata : "Kejujuran yang telah aku janjikan pada ibuku."

Suatu hari, di malam idul adha aku pergi ke ladang untuk membantu menggarap sebidang tanah. selama aku berjalan di belakang lembu jantan, dia (lembu jantan) itu memalingkan kepalanya dan memandangiku seraya berkata : "Engkau tidak di ciptakan untuk pekerjaan ini" spontanitas aku sangat ketakutan dan berlari ke rumah dan memanjat ke atap rumah petak bertingkat. ketika melihat ke luar, tiba-tiba aku melihat para jemaah haji sedang berkumpul (wukuf) di padang arafah, di arabia tepat di depanku. lalu aku segera menemui ibuku, yang pada waktu itu sudah menjadi janda, dan aku meminta kepada ibuku, 'kirimlah aku ke jalan kebenaran, berilah aku izin untuk pergi ke baghdad untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama dengan orang bijak dan orang-orang yang dekat dengan Allah Azza wa jalla.

Ibu bertanya kepada ku, 'apa alasan permintaanmu yang tiba-tiba kau ingin pergi ke baghdad...?

Aku mengatakan kepadanya apa yang telah terjadi pada diriku. beliau menangis mendengar ceritaku, lalu mengeluarkan delapan keping emas, semaunya adalah warisan ayahku. dia menyisihkan empat puluh untuk saudara laki-laki ku, empat puluh batang lainnya dia jahit di bagian mantelku. kemudian dia mengijinkan ku untuk meninggalkan dirinya. sebelum membiarkan aku pergi, beliau menasihatiku bahwa : "aku harus berkata benar dan menjadi orang yang jujur apa pun yang terjadi. ibu melepas kepergianku dengan kata-kata, 'mudah-mudahan Allah SWT melindungi dan membimbingmu, wahai anakku. aku memisahkan diriku sendiri dari orang yang paling mencintaiku karena Allah. aku tahu bahwa aku tidak akan dapat melihatmu sampai hari pengadilan terakhir tiba.

Setelah beliau mendapatkan izin dari ibunya, beliau bergabung dengan kafilah yang pergi ke baghdad. ketika beliau meninggalkan kota hamadan, sekelompok rampok jalanan, enam puluh penunggang kuda yang gagah menyerang kami. mereka mengambil segala sesuatu yang di bawa kafilah tersebut. salah seorang di antara mereka datang kepadaku dan bertanya : "Hai anak muda, harta apa yang engkau miliki...? Aku menceritakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh batang (keping uang) emas. Dia bertanya, dimana kau simpan..? aku mengatakan di bawah lenganku,'

Dia (sekelompok perampok) itu tertawa dan meninggalkan ku sendiri, penjahat lainnya datang dan menanyakan hal yang sama, dan akupun mengatakan hal yang sebenarnya. dia juga meninggalkan ku sendirian. aku pikir mereka hendak mengadukan hal tersebut kepada pemimpinnya, dimana mereka sedang membagikan hasil rampasan. Pemimpin mereka bertanya tentang barang berharga milikku, aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh batang emas yang di jahit di mantelku persis di bawah ketiakku.

Pemimpin perampok itu lalu mengambil mantelku, merobek bagian lengan, dan menemukan emas tersebut. kemudian dia bertanya kepadaku dalam ketakjuban, "Uangmu (hartamu) telah aman, lantas apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa engkau memilikinya dan memberitahukan tempat engkau menyembunyikannya..?

Aku menjawab : "Aku harus mengatakan yang sebenarnya dalam keadaan apapun, sebagaimana yang telah aku janjikan kepada ibuku."

Ketika pemimpin perampok mendengar hal itu, ia menitikkan air mata sambil menangis seperti dihantam rasa penyesalan yang mendalam dalam dirinya dan berkata : "Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku. aku mencuri dan membunuh. apa yang akan terjadi padaku.' itulah kira-kira lirih batinnya sang pemimpin perampok itu.

Sementara perampok lain (para anak buahnya) memandanginya, sambil berkata : 'Engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun ini dalam perbuatan dosa. sekarang juga engkau tetap menjadi pemimpin kami dalam penyesalan.

Keenam puluh orang perampok itu memegang tanganku dan menyatakan penyesalannya serta keinginannya untuk mengubah jalan mereka dan bertobat di hadapanku. ke enam puluh orang itu adalah orang yang pertama memegang tanganku dan mendapat keampunan untuk dosa-dosanya."

Akhir dari cerita ini adalah awal dari perjalanan beliau yang menunjukan sifat jujur untuk menjunjung kejujuran dimanapun dan dalam keadaan apapun, seperti ucapan yang beliau lontarkan. dan tidak ada yang ironis dalam dunia ini jika Allah memberikan hidayah-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki, meskipun orang tersebut telah berlumuran dosa, seperti kisah di atas, Semoga bermanfaat.

Sumber : Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani










Share:

0 komentar:


jadwal-sholat