"Lakukanlah apa yang bermanfa'at untuk dirimu dan berpegang teguhlah dengannya"

Jumat, 24 Juli 2015

Fenomena Islam Jama'ah Gaya Baru

Syeikh Ibnul Mubarok seorang muhadist pernah berujar: "Sanad bagian dalam agama, seandainya tidak ada sanad (mata rantai atau silsilah keguruan) niscaya manusia sembarang berkata."

Begitu juga dengan Imam Nawawi dalam komentarnya : "Mencari sanad menjadi bagian penting, sudah semestinya bagi guru agama dan pelajar mengetahui sanad dan buruklah karena tidak mengetahui sanad, sesungguhnya guru agama adalah menjadi bapaknya dalam agama dan menjadi wasilah antara dirinya dan Robbul A'lamin."

Bahkan Ulama Salaf pun turut ambil bagian dan katanya : "Sanad ibarat pedang bagi yang berperang."

Fenomena memilukan yang sering muncul ditengah masyarakat mulai dari berbagai fatwa yang serampangan, munculnya berbagai ajaran sesat, obral ucapan bid'ah dholalah hingga sikap memusyrikan dan mengkafirkan kaum muslimin dan sebagainya. Salah satu faktornya adalah, mencukupkan diri dalam mempelajari ilmu agama dengan mengkaji sendiri atau berkelompok tanpa bimbingan seorang ulama. dan anehnya perilaku semisal ini justru sering muncul dari para civitas akademika. padahal dalam firman Allah ditegaskan :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِإِنْ كُنتُمْ لَاتَعلَمُونَ
"Tanyakan kepada ulama jika kalian tidak mengetahuinya" (Qs.an-Nahl: 43)
Jadi wajar bila pada akhirnya muncul celoteh para syufi, "Siapa saja yang mengkaji agama Islam tanpa bimbingan  seorang guru, maka syetanlah yang akan membimbingnya". Imam Dhailami meriwayatkan hadist yang bersumber dari Ibnu Umar ra. (Hadist marfu) "Ilmu itu agama, sholat itu agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, sebab bagaimanapun kalian sholat maka sesungguhnya kalian akan ditanya pada hari kiamat nanti" (cara tersebut dari mana).

Bahkan lebih fatal lagi bila menghina karya para salafus sholeh yang dikenal dikalangan santri dengan sebutan kitab kuning, padahal kepakaran dan kapasitasnya  sudah mencukupi kenapa masih dipertanyakan.

Ada sebuah i'tibar : "Kipas yang sudah ada tinggal digunakan tapi malah pergi ke kebun bambu untuk membuat kipas, dibelahnya bambu itu, diracik dan seterusnya. hingga menjadi kipas, tapi ternyata kipas yang di buatnya lebih buruk dari brongsongan nangka".

Saudaraku,
Sanad dalam wacana ilmu Hadist adalah jalan menuju teks hadist atau mata rantai para perawi yang menukil dari sumber pertama. dalam dunia kepasantrenan bisa berarti sandang seorang murid dalam mengambil ilmu kepada sang guru dan seterusnya yang disebut silsilah keguruan.

Begitu pentingkah silsilah keguruan itu ? Bukan sekedar penting seperti komentar diatas tadi, tapi segudang keberkahan (nilai tambah) akan diperoleh. ada beberapa hal yang patut dicatat sang murid yang jelas silsilah keguruanya :
  • Lebih mantap dalam melangkah da'wah
  • Terhindar dari sikap egoistis (ke-akuan)
  • Futuhat (terbuka cakrawala pemikiran & pemahaman
Lebih Mantap Dalam Melangkah Da'wah.
Betapa tidak karena kajian yang akan disajikan ke tengah umat sumbernya cukup jelas juga lebih dapat di pertanggungjawabkan. seperti halnya ketika Nabi Saw mengerjakan cara sholat kepada sahabatnya, :Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku melaksanakan sholat" (Hr. Imam Bukhori)

Kemudian apa yang disaksikan sahabat disampaikan kepada tabi'in dan terus hingga generasi sesudahnya.

Imron bin Husain ra ketika mengajar hadist di tengah jama'ahnya, tiba-tiba datang seorang lelaki lantas berkata : "Tinggalkan ini, ajarkan saja kami Al-Qur'an !", mendengar ocehan lelaki tadi  Imron bin Husain tidak marah dan diapun balik bertanya, katanya: "Kalian semua membaca Al-qur'an, dari mana kalian tau tentang kaifiat (tata cara) sholat, pembagian zakat, haji dan sebagainya ?, mendengar Imron bin Husain berkata demikian, lelaki tadi terdiam. bahkan Imam Hasab Al-Basri dalam riwayatnya mengatakan: "Lelaki tersebut akhirnya menjadi ahli fiqih sebelum wafatnya."

Ayub as-Sahtiyani ra (68-131H) mengatakan, "Apabila kamu mengajarkan as-Sunnah kepada seseorang kemudian dia berkata, tinggalkan ini dan ajarkan saja kami Al-qur'an, maka ketahuilah orang tersebut telah sesat dan menyesatkan.

Saudaraku
Cerita dan komentar diatas tadi setidaknya menjadi cermin bagi sekian banyak orang berda'wah hanya bermodalkan Al-qur'an terjemah, tanpa pernah mau menengok hadist yang notabennya sebagai penjelas isi Al-qur'an, apa lagi membuka-buka tafsir yang dikarang para salafus shaleh, belum lagi perangkat-perangkat lain yang mutlak harus dikuasai semisal tata bahasa arab dll. Mampukah dirinya memahami isi kandungan Al-qur'an dengan benar tanpa dukungan semua itu...?
Kita sering memperhaitkan mereka yang katanya berslogan kembali kepada Al-qur'an, ternyata serba kebingungan ketika menghadapi ayat-ayat hukum (ayatul ahkam). Dan akhirnya yang mereka kaji adalah ayat yang sesuai dengan pola gerakanya, itupun ujungnya cuma untuk kepentingan politik dan menghantam orang lain. Bahkan ada yang berceloteh, "Kenapa tidak langsung saja ke Al-qur'an". Nah kita jawab, "Memangnya ilmu yang tersebar di berbagai kitab-kitab fiqih itu dari mana sumbernya kalau bukan dari Al-qur'an dan hadist, bahkan kita berani mengatakan bahwa kitab-kitab fiqih yang dikarang ulama salaf yang menjadi rujukan dunia pasantren adalah hadist bil ma'na. Mengapa,,,? coba selidiki sedikit wacana yang ada di kitab fiqih semisal Safinatun Naja-Ar-Riyadhul Badi'ah, Taqrib dll. ternyata mereka beristinbath dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist.
Dalam hadist Nabi Saw dikatakan, "Siapa yang paling berani berfatwa adalah yang paling berani masuk neraka".
Apakah berani para ulama salaf itu berfatwa yang dituangkan dalam kitab fiqihnya tanpa dalil yang akan menyebabkan mereka terjungkal kedalam api neraka....? Tentu hanya orang dungu yang menuduh ulama salaf itu asal bunyi (asbun) tanpa dalil.
Yang memilukan dalam kreatifitas da'wah amburadul sebagian civitas akademika itu adalah upaya menjauhkan umat dari ulamanya. Hadist yang berbunyi : "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat" menjadi sebuah doktrin da'wah yang dipraktekan secara tidak proporsional alias ngawur alias serampangan. Mengapa...? karena setiap orang di pahami harus mengajar agama walau dengan informasi seadanya. Akibatnya ketika mereka ditanya, ternyata yang keluar dari mulut mereka rupanya sederetan fatwa ngawur,asal bunyi, menafsirkan satu ayat tadi menurut hawa nafsunya, dengan ucapan yang biasa mereka lemparkan "ah" ini maudu', ah ini dhoif, ah ini ga ada hadistnya, ah ini bid'ah, ah ini musyrik dan segudang kata ah-ah yang lain.
Parahnya lagi mereka mengklaim sebagai Murabbi. (Panggilan Murabbi lebih cocok buat seorang Mursyid Thariqoh). Mengutip sepenggal pernyataan, "Laula Murabbiy ma'araftu Rabbiy" (Seandainya tidak ada Murabbi pasti aku tidak mengenal Tuhan-ku)".
Padahal tugas Murabbi sebenarnya adalah mengantarkan murid mengenal Allah Swt. mengarahkan murid untuk selalu ingat kepada Allah dan mengajak mereka mencintai yang senang ingat kepada Allah (berdziqir). dan lebih jauh lagi mencetak sang murid menjadi 'Arif billah. ini bisa difahami dari redaksi 'araftu dari akar kata arafa yang berarti menganal betul Allah, sebuah maqom musyahadah seperti halnya Syekh Abdul Qodir Al-Jailani serta para Aulia dan Anbiya.
Bukan bertindak sebaliknya dengan mencerca kaum muslimin yang gemar berdziqir dengan berbagai kemasanya berupa maulidan, istighasahan, tahlilan, tawasulan, haulan, ratiban, hiziban, yasinan, dan lain sebagainya yang syaratnya bermuatan dalil syar'i. Bukankah dalam kehidupan kita diperintah untuk banyak berdziqir..? Dan soal Modus, tentu banyak ragamnya selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syiar'i.

Dan cara rekrutmenya saja sudah mengisyaratkan gejala penipuan ilmiah. mereka merekrut pelajar dan kaula muda yang mayoritasnya masih sangat hampa agamanya dengan alasan lebih mudah untuk diwarnai. mereka enggan berhadapan dengan santri-santri yang sudah banyak dibekali ilmu agama, mereka takut bila saatnya diajak berdzakaroh dan diskusi apalagi berdebat untuk meng-kritisi doktirn-doktrin dongkal yang mereka perangi, padahal karekter imu itu sendiri terbuka untuk dikritisi.

Al-Hasil, produk tarbiyahnya dari yang kita saksikan ujungnya hanya mengkader robot-robot muda ditengah masyarakat dengan bermodalkan segudang doktrin-doktrin dangkal. penuh kesombongan, benar sendiri, bahkan berani mengkaflingkan syurga semenara para kyai dan santrinya mereka anggap para pelaku bid'ah sesat yang berhak masuk neraka. yang lebih menyeramkan lagi, mereka ikat sekuat-kuatnya para robot-robot muda itu untuk tidak terbuka dan bergaul dengan sesama, bergaul hanya pada lingkup mereka saja.

Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan dan programkan sebenarnya ingin menumbuhkembangan lagi islam jamaa'ah. atau mereka memang sedang menciptakan islam Jamaa'ah gaya baru..?

Inilah realitas yang sering kita saksikan di berbagai sudut-sudut kota. dalam sebuah hadis yang bersumber dari Abdullah bin Amar bin Ash ra. Aku  mendengar Rosulullah bersabda :
إِنَ اللهَ يَقبِضُُ الْعِلمَ ابْتِذَاعاًً يَنتَذِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وََلََكِنْ يَقبِضُ الْعِلمَ بِقَبْدِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَالَمْ يُبقِ عَالِمًا اتَّخَذَالنَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًافََسُءِلُوافَأَفْتَوْابِغَيرِ عِلْمٍ فَضَلُّواوَأَضَلُّوا
"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (agama) sekaligus dari para hambanya, tetapi melalui dicabutnmya (diwafatkan) ulama, hingga ketika Allah tidak mneyisakan satu orang ulamapun, saat itu manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimipinm, dan ketika mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa ilmu, hingga mereka sesat (buat dirinya) dan menyesatkan (buat orang lain). (HR.Imam Bukhori dan Imam Muslim)

Dalam hadist yang lain yang sangat populer :

"Akan datang suatu masa pada umatku, mereka lari dari ulama dan ahli fiqih, maka (akhirnya karena kelakuan mereka) Allah menguji  mereka dengan tiga hal :
  • Allah mencabut (menghilangkan) keberkahan dalam usahanya
  • Allah kirim penguasa yang lalim
  • Mereka keluar dari dunia tanpa membawa  iman.
Dalam hadist lain yang bersumber dari Mughirah bin Syu'bah aku mendengar Rosulullah bersabda :
إِنَ اللهَ كَرِهَ ثَلاَثَا قِيلَ وقَلَ وَإِِضَاعَةَ الْمَالِ وََكَثْْرَةَ السُّؤَالِ
"Sungguh Allah membenci kalian atas tiga hal : 1.Perkataan "katanya (asal bicara). 2.Menyia-nyiakan harta dan 3.banyak bertanya.(Hr.Imam Bukhori -Imam Muslim)

Tiga hadist diatas setidaknya memberikan gambaran tentang akar kerancuan kreatifitas da'wah para civitas akademika diatas tadi yang di picu oleh :
  • Tidak adanya pakar (ulama) di lingkuangan mereka
  • Lari dari ulama ahli fiqih alias tidak pernah menggali ilmu agama secara benar melalui mereka
  • Berfatwa sembarangan tanpa dalil atau asal bicara dalam menjawab persoalan agama.
Barangkali  tidak akan menjadi persoalan sendainya saja mereka mau mendengarkan penjelasan ulama yang membimbing mereka. (mengaji) kemudian hasil pengajian tersebut disampaikan lagi  dengan penuh hati-hati yaitu sampaikan seperlunya dan tetap terus bertanya kepada ulama saat menghadapi persoalan yang sulit ditangani jawabanya, jangan menambah-nambah atau berfatwa sembarangan.

Disatu sisi kita bangga dengan ghirah keislaman yang demikian tinggi, disisi  lain cukup mengkhawatirkan dan memperhatinkan ketika mereka berda'wah hanya bermodalkan Al-quran terjemah, syukur kalau sekiranya masih mau mengaji kepada ulama. bahkan ada celoteh dari mereka, "ngapain mondok pasantren lama-lama, cukup sini ngaji dengan saya, sebentaran juga kamu jadi guru ngaji'. Inna lillahi, beginah corak da'wah sekitar kita...? di MUI saja ada komisi fatwa, di NU ada Lajnah Batsul Masail, di Muhammadiyah ada badan Tarjih, di alumni pasantren ada Mudzakaroh dan sederetan lembaga dan perkumpulan lain yang semuanya itu khusus menangani pertanyaan dan persoalan.

"Kata santri depok jangan pernah membuat dan menjual tahu, jika anda tidak pernah tahu membuat tahu."

Dalam persoalan Kilafiyyah Fiqhiyyah (perbedaan fiqih) saja ada etikanya, yaitu saat orang lain berbeda dalam acara amaliah ibadahnya. selama dia berpegang teguh kepada tuntutan syiariah, kita wajib menghormati dan penuh toleransi. Mengingat Khilafiyyah Fiqiyyah adalah sebuah realitas umat yang tidak bisa dipersatukan, yaitu masing-masing berpegang kepada ulama Mazhab yang di anutnya.
Cuma yang menjadi persoalan itu adalah ketika orang asal beda, yaitu perbedaan yang dilahirkan atas kemauan fatwa sendiri yang hanya bermodalkan Al-qur'an terjemah dengan tidak mengkaji kepada ulama apalagi mau menengok kitab-kitab lain untuk melihat pendapat ulama madzhab yang memang sudah ahli di bidangnya dengan berbagai perangkat dalil mulai dari bahasa, tata bahasa (Nahwu,shorof,balaghoh), kaidah usul fiqih, kaidah fiqiyyah, muhtahalul hadist, ulumul Qur'an dll.
Saudaraku
Alangkah naifnya sudah tidak punya perangkat untuk memahami isi kandungan Al-qur'an, serta merta mereka berda'wah hanya bermodalkan Al-qur'an terjemah dengan tidak melalui proses mengaji kepada seorang ulama. Nah, da'i karbitan mungkin julukan yang tepat buat mereka ini yang tidak henti-hentinya memecah belah umat islam.
Terhindar dari sifat egoistis
Pepatah "Di atas langit ada langit" atau celoteh budaya Hamka "Orang pintar itu sebenarnya kata si anu" setidaknya menjadi motifator untuk sang murid bersikap tawadhu. Sebab apapun yang dihasilkan itu wasilahnya adalah guru, walaupun bisa terjadi sang murid satu ketika lebih mumpuni, sebab ilmu di pacu oleh faktor siapa yang lebih banyak baca dan menerima informasi.
Seperti Nabi Musa as yang kontak merendah saat bertemu Nabi Khidir as, setelah mendapat pelajaran tentang sesuatu yang tidak sanggup dicernanya. (baca surat Al-Kahfi ayat 65:82)
Futuhat (terbukanya cakrawala pemikiran & pemahaman) Dipercaya atau tidak, inilah realita spiritual yang sering di alami oleh santri yang jelas silsilah keguruanya. "Setidaknya sebagai bukti dari kandungan hadist Nabi Saw : "Barang siapa yang mengamalkan sesuatu yang ia ketahui maka Allah akan mengajarkan ilmu yang belum pernah ia pelajari."
Dari mana titik singgung Futuhat dengan hadist ini ? dari hadist tadi terungkap kalimat "Mengamalkan apa yang ia ketahui" tentu melalui mediasi belajar yang di bimbing sang guru yang jelas kapasitasnya baik sanad maupun keilmuan. Sebab tidak mungkin Nabi menjamin bahwa Allah Swt. akan memberikan ilmu tambahan baginya, jika yang belajar ternyata mengambil ilmu sendiri tanpa pernah di bimbing sang guru tersebut.

Wallahu A'lam bis showab, dan semoga kita masih dalam kerangka cinta kepada ulama dan Allah jauhkan diri kita dari langkah-langkah syetan. Amin

(Sumber: Muhammad Yusuf Hidayat. KH.Ma'mur Murod)
Share:

0 komentar:


jadwal-sholat